Jumat, 20 Desember 2013

Urban Farming edisi 6



Irigasi Tetes, Solusi Irigasi Tanaman Pot




                Air, satu kata yang teramat berharga. Ada yang tidak setuju? Mana mungkin ada yang tidak setuju. Tubuh manusia saja didominasi air. Ya, air begitu penting bagi kehidupan kita, bagi manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Berhubung disini forum pertanian jadi kita spesifik ke air dalam lingkup pertanian. Kali ini kita akan membahas irigasi tetes sebagai solusi tanaman pot. Kenapa irigasi tetes? Dan kenapa pula tanaman pot? Kita disini masih membahas pertanian perkotaan yang sedang jadi trend, selain itu juga sharing ilmu buat temen-temen yang suka nanem tanaman dalam pot tapi pengen nggak ribet nyiram.

Menurut Schwab et al. (1981) dalam metode perencanaan sistem irigasi spinker membagi pemberian air ke dalam 4 cara, yaitu pemberian air di permukaan tanah (surface irrigation), pemberian air dari bawah permukaan (subsurface irrigation), penyiraman (sprinkle irrigation), dan irigasi tetes (drip or trickle irrigation). Irigasi tetes bisa dianggap sebagai suatu inovasi dalam lingkup irigasi permukaan. Tujuannya sama saja dengan sistem irigasi yang lain hanya saja lebih menekankan pada meminimalisasi air yang terbuang sia-sia. Mekanisme umum irigasi tetes adalah memberikan air secara perlahan (tetes demi tetes) di daerah sekitar perakaran tanaman. Irigasi tetes biasanya diterapkan pada daerah terbatas air atau lahan kering. Untuk irigasi tetes pada tanaman pot dapat memanfaatkan barang-barang bekas seperti botol bekas atau botol infus bekas. Yang terpenting adalah air yang diteteskan volumenya sedikit dan secara kontinyu

Sistem irigasi ini cocok sekali digunakan pada tanaman pot di rumah. Kita jadi tidak perlu repot-repot setiap hari menyiram dan jika kita pergi dalam waktu yang cukup lama, kita tidak khawatir tanaman kita mati karena kekurangan air, tapi selama cadangan air untuk irigasi tetesnya cukup lho ya. Sistem irigasi tetes punya dua keuntungan sekaliggus, yaitu hemat dalam penggunaan air dan bisa juga diaplikasikan bersama pupuk. Jadi semakin ringan deh pekerjaan teman-teman. Tapi dimana ada keuntungan pasti ada kerugian kan? Kerugian dari irigasi tetes yang utama adalah sering tersumbatnya lubang tetes karena tanah, lumut atau kotoran. Pencegahannya mudah kok, temen-temen rajin-rajin membersihkan botolnya aja biar gak ada yang nyumbat. Sekian info kali ini, semoga bermanfaat. Sampai jumpa di urban farming edisi selanjutnya.


 

Selasa, 05 November 2013

Urban Farming edisi 4



Foliar Feeding

Pupuk merupakan salah satu unsur penting dalam bidang pertanian karena pupuk berperan penting dalam ketersediaan hara atau nutrisi bagi tanaman. Meskipun tanah atau media juga berfungsi sebagai penyedia hara atau nutrisi bagi tanaman, tetapi belum tentu media tersebut mampu memberikan hara atau nutrisi dalam jumlah yang mampu memenuhi kebutuhan tanaman. Ada berbagai macam pupuk yang kita kenal beredar luas di pasaran. Ada pupuk anorganik, pupuk majemuk, pupuk mikro, pupuk organik dan lainnya. Secara umum pupuk yang kita tahu selama ini adalah pupuk yang diaplikasikan dengan cara diberikan pada daerah perakaran. Dalam beberapa kasus atau situasi tertentu, pemberian pupuk pada daerah perakaran kurang efektif sehingga terjadi defisiensi hara pada tanaman. Oleh karena itu muncul inovasi foliar feeding atau pupuk daun.

Foliar feeding merupakan suatu sistem pemupukan yang aplikasinya diberikan secara langsung pada organ-organ tanaman seperti daun dan batang. Pemberian pupuk seperti ini berdasar pada fakta bahwa bagian tanaman yang mampu menyerap nutrisi (air) tidak hanya akar, tetapi daun dan batang yang memiliki pori-pori juga mampu melakukannya meskipun tidak seefektif akar. Mekanisme pemberian pupuk dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan pupuk dengan konsentrasi yang sesuai pada daun tanaman. Konsentrasi pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman. Konsentrasi pupuk yang terlalu pekat justru menghambat pertumbuhan tanaman, karena air yang terdapat pada sel daun akan terserap oleh pupuk yang terdapat pada permukaan daun, sedangkan konsentrasi pupuk yang terlalu rendah pada larutan pupuk tidak akan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman (tidak efektif).
Pemupukan dengan metode foliar feeding lebih ditujukan sebagai tindakan preventif dan kuratif pada tanaman. Hal ini disebabkan nutrisi yang diberikan biasanya hanya mengandung unsur-unsur mikro yang tidak didapatkan dari pemupukan melalui tanah. Unsur hara mikro lebih mudah diserap oleh daun daripada unsur makro, sehingga pemberian unsur makro melalui media tanam masih perlu dilakukan. Pupuk yang disemprotkan pada tanaman akan masuk ke dalam jaringan dan sel-sel tanaman melalui ektodesmata. Ektodesmata merupakan lubang/pori yang terdapat disekitar stomata. Larutan pupuk dapat masuk karena adanya difusi dan osmosis yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi. Selain itu, pupuk juga dapat masuk ke dalam jaringan tanaman melalui stomata. Hal ini dapat terjadi apabila pupuk mengalami penguapan dan berubah bentuk menjadi gas.
Pelaksanaan foliar feeding tidak bisa dilaksanakan pada sembarang waktu. Waktu pengaplikasian yang tidak tepat tidak akan memberikan hasil yang efektif sehingga hanya akan menambah biaya produksi/biaya pengeluaran oleh petani. Waktu pengaplikasian yang paling optimal adalah pada malam hari. Pada malam hari penyerapan nutrisi mencapai 3-10 kali lebih besar daripada pengaplikasian pada siang hari. Hal ini karena suhu dan penyinaran pada siang hari masih tinggi sehingga kemungkinan pupuk yang menguap juga tinggi. Namun, kenyataan bahwa pada malam hari tanaman juga bernafas sama seperti manusia dan hewan serta tidak  melakukan proses fotosintesis maka hara atau nutrisi yang diberikan tidak akan dimanfaatkan oleh tanaman. Aplikasi yang tepat dilakukan adalah pada saat pagi hari yang 3 kali lebih efektif daripada saat siang hari dan lebih tepat diaplikasikan daripada malam hari. Waktu pada pagi hari yang tepat untuk aplikasi foliar feeding adalah antara jam 8 hingga 10 pagi.
Metode foliar feeding biasanya banyak diaplikasikan pada tanaman hortikultura. Tanaman-tanaman hortikultura merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan dengan sistem hidroponik, sehingga penggunaan foliar feeding sangat banyak diterapkan pada sistem pertanian urban farming  yang kebanyakan menggunakan teknik budidaya hidroponik. Foliar feeding dapat menjadi solusi dari defisiensi unsur hara mikro pada artikel urban farming edisi sebelumnya. Selain itu aplikasi foiar feeding juga dapat diterapkan pada pertanaman lain dengan tujuan mempercepat pembungaan dan menghindarkan dari gejala kekurangan hara mikro di fase-fase kritis seperti awal pembungaan dan pembentukan buah.

Urban Farming edisi 3

Hidroponik Skala Rumah Tangga


               
  Pada urban farming sebelumnya telah dibahas sedikit prospek hidroponik skala rumah tangga dan sekarang kami akan menerangkan penerapan hidroponik rumah tangga yang telah dialami oleh salah satu anggota kami. Berdasarkan pengalaman anggota kami, hidroponik skala rumah tangga tidaklah rumit, semua orang dapat melakukannya. Hidroponik yang ada sekarang memiliki banyak macam teknik dan model, tak sedikit orang yang melakukan inovasi dalam hidroponik salah satunya adalah dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Tanaman yang telah berhasil ditanam sementara ini adalah sawi, paprika, cabai, dan melon. Untuk tanaman sawi telah mengalami 1 kali panen dengan masa sekitar 35 hari dari pembibitan. Pada paprika dan cabai yang telah berumur sekitar 3 bulan sudah berbunga dan mulai muncul buah, begitu pula pada melon yang mulai berbuah.

Tanaman Sawi Hidroponik

 Buah melon hidroponik

Paprika hidroponik

Hidroponik yang digunakan anggota kami ada dua macam berdasarkan tanaman yang ditanam. Dalam menanam sawi mengunakan perpaduan hidroponik substrat dan non-substrat, yaitu menggunakan campuran arang sekam dan pupuk organik dalam gelas mineral bekas yang digunakan sebagai media penegak pada larutan nutrisi dalam paralon. Sedangkan untuk media cabai dan paprika menggunakan hidroponik substrat berupa campuran arang sekam dan pupuk organik dalam polybag. Bahan dan alat yang digunakan tidak mahal dan tidak susah dicari, yaitu bambu, plastik mika, waring net, polybag, sekam, seng, aerator, paralon, gelas mineral bekas, pupuk organik, pupuk urea, pupuk NPK dan benih tanaman. Untuk arang sekam yang digunakan merupakan buatan sendiri, sedangkan pupuk organik merupakan produk pabrik karena tidak sempat membuat sendiri. Pupuk yang digunakan merupakan pupuk pabrik karena ini masih tahap percobaan apakah hidroponik ini berhasil atau tidak. Yang diamati sementara adalah sistem hidroponik seperti yang mudah dilakukan, khususnya hidroponik dengan paralon yang memerlukan kecepatan dan konsentrasi aliran nutrisi yang stabil serta suhu dalam paralon yang rawan panas di siang hari. 
Permasalahan yang muncul dalam penerapan hidroponik yang dilakukan adalah pada jam 10 ke atas tanaman mulai mengalami kelayuan baik pada paralon maupun pada polybag. Namun, yang lebih sering layu dan rawan adalah tanaman dalam polybag, sehingga pada jam tersebut perlu dilakukan penyiraman untuk memberi tambahan air yang hilang dari media karena arang sekam yang bersifat porus sehingga mudah meloloskan air merkipun telah dicampur dengan bahan organik. Selain itu karena yang digunakan adalah pupuk majemuk maka terjadi defisiensi hara mikro yang menyebabkan bunga-bunga mengalami kerontokan sehingga buah yang berhasil tumbuh sedikit. Meski demikian hasil yang diperoleh cukup memuaskan, yaitu penerapan hidroponik skala rumah tangga tidaklah terlalu sulit selama faktor-faktor tersebut dapat diatasi. Hal ini didasarkan bahwa dalam mencoba hal baru itu tidak bisa langsung sekali berhasil tetapi membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Ingat bahwa sebelum kita mampu berlari kita melewati tahapan merangkak dan berjalan lebih dulu. Itupun kita lalui dengan berkali-kali terjatuh bukan? Maka jangan cepat menyerah dan putus asa jika gagal.

Jumat, 04 Oktober 2013

Urban Farming edisi 2



Sekelumit Hidroponik


 Hidroponik berasal dari kata Yunani, yaitu hydro yang berarti air dan ponos yang berarti kerja, merupakan cara bertanam atau budidaya dengan menggunakan air dan tanpa menggunakan media tanah. Dikenal juga sebagai soilles culture atau budidaya tanaman tanpa tanah. Berdasarkan dua kata yang membangun, hidroponik memiliki pengertian secara bebas teknik budidaya tanaman dengan menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman.
Dalam buku Hidroponik : bercocok tanam tanpa tanah, bertanam secara hidroponik sudah dimulai sejak ribuan tahun lalu, seperti taman gantung di Babilon dan taman terapung di Cina. Selain itu ada pula cerita dari Mesir, India dan Cina bahwa manuisia purba sudah sering menggunakan larutan pupuk organik memupuk sayuran dalam bedengan pasir di tepi sungai yang kemudian disebut river bed cultivation. Ketika ahli patologis tanaman menggunakan nutrien khusus untuk media tanam muncullah istilah nutri culture kemudian water culture, solution culture dan gravel bed culture untuk menyebut hasil percobaan mereka yang menanam tanam menggunakan media tanah. Hingga akhirnya pada tahun 1936 lahir istilah hidroponik yang diberikan untuk hasil dari DR. WF. Gericke, seorang agronomis dari Universitas California, USA, berupa tanaman tomat setinggi 3 m yang penuh dengan buah dan ditanam dalam bak berisi mineral hasil uji cobanya.
Penemuan Greicke menjadi sebuah sensasi pada saat itu, dimana foto dan riwayat kerjanya menjadi headline surat kabar, bahkan ia sempat dinobatkan menjadi orang berjasa abad 20. Sejak saat itu hidroponik tak lagi terbatas dalam skala laboratorium, dengan teknik sederhana dapat diterapkan siapa saja, termasuk ibu rumah tangga. Jepang yang kalah dari sekutu dan tanahnya yang menjadi tandus akibat bom atom, pada tahun 1950 secara gencar menerapkan hidroponik. Begitu pula negara-negara gersang penghasil minyak turut menerapkan hidroponik.
Itulah sejarah hidroponik yang saat ini menjadi trending topic solusi keterbatasan luas lahan subur yang didengung-dengungkan saat ini yang ternyata sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Alasan utama hidroponik dikembangkan adalah kebutuhan pangan meningkat, luas lahan subur pertanian semakin menurun akibat berbagai masalah  seperti alih fungsi lahan sebagai pemukiman, terjadi bencana sehingga lahan menjadi tandus atau tergenang dan lain sebagainya. Selain itu saat ini sedang digalakkan pertanian berkelanjutan yang ramah dan aman bagi manusia dan lingkungan. Tapi bagaimana dengan pabrik, apartemen, perumahan, mall, dan jalanan aspal yang sudah berdesakan melenyapkan tanah? Menanam dimana dengan keadaan seperti itu? Apalagi tuntutan pertanian berkelanjutan? Untuk orang desa yang punya banyak lahan, mudah sekali melakukan kegiatan bertanam, tetapi bagaimana dengan orang kota yang perlu makan tapi tidak ada lahan? Hidroponik muncul sebagai solusi. Tanamlah sayuran dengan cara hidroponik di rumah atau kantor orang-orang kota. Bisa dijendela, balkon, garasi atau tempat sempit lain yang masih bisa mendapatkan cahaya matahari cukup. Jika tidak, gunakan apa yang telah dilakukan petani Jepang, menanam dalam ruangan dengan bantuan lampu. Tetapi hal tersebut kurang efisien untuk lingkup rumah tangga. Dengan bermodal paralon atau kotak perkakas, aerator, larutan nutrisi dan benih, orang-orang kota dapat menikmati sayur dari rumah mereka sendiri. Bukan hanya orang kota, semua orang juga bisa melakukannya. Seperti halnya urban farming, hidroponik jauh dari kata berkotor-kotor bahkan saat memanen sayur kita bisa menggunakan kemeja, berdasi dan jas licin seperti orang yang mau ke kantor, sehingga orang kota tak perlu malu menjadi petani. Dengan demikian petani bukan lagi identik dengan baju lusuh penuh lumpur, tetapi menjadi petani berdasi. Jualannya pun bisa secara online. Kalau seperti itu bisa dibilang petani modern kan? Jangan tertawa dengan argumen itu, bukankah di dunia maya tersedia berbagai kebutuhan? Kenapa tidak dengan produk pertanian?


Tak perlu kita membahas hidroponik lingkup luas, seperti hidroponik dalam mengatasi pangan dunia. Bagaimana jika hidroponik mengatasi pangan keluarga? Dengan hidroponik kita bisa membuat kebun sayur sesuka kita di rumah dan dengan penanganan sendiri kita bisa tau kualitas sayuran yang kita makan. Jika ada yang berfikir bahwa itu merugikan petani, bagaimana jika kami berkata mana mungkin semua rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan sayur atau pangannya?  Semua orang pastilah masih membutuhkan petani untuk kebutuhan pangan. Lalu bagaimana jika petani saling bekerja sama membangun kebun hidroponik organik untuk tingkat ekspor pada komoditas yang rumah tangga mampu memenuhi sendiri? Terlihat lebih mandiri kan? Atau bisa disebut swasembada. Lahan subur memang semakin sempit, tetapi banyak teknologi menjadi solusi masalah tersebut. Berkata memang mudah, untuk hasil nyatanya mari kita mulai dari diri sendiri dan lingkungan. Jangan juga manganggap itu mimpi karena pemerintah beum mendukung, maka seperti sebelumnya, mulailah dari diri sendiri dan lingkungan. Kemudian rubahlah dunia.
Mahasiswa Agroteknologi, Jadilah petani yang layak disebut pahlawan dunia. Jangan jadi petani yang ditindas dunia. IMAGRO, CHAYO!!!

Sumber : google.com